Aku teringat sebuah peristiwa yang tak mungkin terlupakan. Satu tahun
yang lalu. Terlihat dari luar, bangunan itu seperti bangunan yang sudah lama
tidak dihuni. Seolah-olah tidak ada tanda kehidupan di dalamnya. Pintu bangunan
itu sedikit terbuka, tampak lantai yang berdebu, seakan memberi jawaban
bangunan itu tidak terawat.
Pagi itu tanggal 14 Februari 2014, pk 04.00 dini hari. Gelap begitu
mencekam, terasa udara yang panas, tak ada angin berhembus. Mentari pagi masih
tertutup gelapnya balutan malam. Keanehan terjadi saat kicau burung fajar tidak
terdengar. Kemana perginya? Apa yang terjadi pagi itu seolah-olah memberi
jawaban “Tak ada lagi tanda kehidupan”
Waktu menunjukkan pk 05.15 terlihat jelas keadaan masih sama; gelap,
panas, tak ada hembusan angin, tak ada sinar matahari yang iasanya telah
mengintip di balik tirai awan, apa yang terjadi pagi itu sangat mengherankan.
“Kemana perginya Sang Surya?” Seolah-olah mentari hilang ditelan Bumi, yang ada
hanyalah awan gelap, tidak ada sapan alam yang memberikan tanda kehidupan.
Sangat kontras dengan yang terjadi satu hari sebelumnya, di jam yang sama,
tanda-tanda kehidupan mulai tampak dan memberi semangat baru.
Pagi itu hadirlah ciptaan Allah yang tak pernah terlihat, sebuah karya
yang dahsyat menghujani seluruh kota Jogja. Dialah “Abu Vulkanik” dari letusan
Gunung Kelud. Derasnya hujan abu telah memadamkan sinar Sang Surya.
Waktu menunjukkan pk 06.30 sinar terang mulai sedikit terlihat, akan
tetapi mentari Sang sumber terang, sinarnya masih tertutup awan tebal. Dibawah
sinar mentari pagi yang temaram, mulai terlihat debu abu yang rata menyebar
dari atap rumah hingga jalan dan taman hias di seantero biara.
Aku berdiri pada salah satu pilar, di depan kapel Biara (Tempat pertama kalinya Tuhan menyapaku).
Kupandangi Kapel itu dengan pintu yang tertutup rapat, dan pelatarannya yang
perlahan-lahan mulai tertutup “hujan abu”. Tempat itu terlihat kumuh, dan
hampir tidak tersentuh tangan manusia.
“Kemana perginya kemegahan kapel itu?”
“Kemana perginya keindahan taman biara?”
Hari itu, aku seakan berada di “kota
mati” tanpa penduduk lain. Awan duka menyelimuti biara dan seluruh Kota
Jogja, menandakan adanya suasana duka di kota lain. Yaaaah … Jawa Timur… Gunung
Kelud mletus dengan tinggi letusan +/- 17 Km.
Kejadian ini mengajakku merubah cara pandang “Bencana Membawa Berkat”.
Tidak mudah merubah pola pikir positif dibalik hadirnya “Hujan Abu” mungkin
sebagian orang akan menganggap itu benar-benar bencana; sebagian lagi itu
adalah “suatu hal yang wajar terjadi
karena memang sudah waktunya”; atau masih ada sekian persen orang
berfikiran “inilah berkat Tuhan”
Jika sebagian orang berfikiran hujan abu adalah “bencana” maka yang
ada dalam benak mereka adalah berbagai pikiran negative dan “Kamus-kamus”
keluhan akan keluar dari hatinya; karena selama hidupnya di isi dengan
“Keluhan”.
Jika sebagian dari orang berfikiran “Memang sudah waktunya” maka yang
ada dalam diri mereka adalah ungkapan syukur dan kegembiraan, meskipun abu
masih bertebaran
Jika masih ada sebagian kita yang berfikiran “berkat Tuhan” maka kita
mencoba mengambil pelajaran di balik hujan abu yang turun bertepatan dengan
hari kasih sayang. Dimana hari kasih sayang begitu meraja di tanggal 14
februari yang lalu.
Dengan hadirnya “hujan abu” alam mengajak kita untuk berbagi kasih
sayang bagi seluruh korban bencana Alam yang sangat membutuhkan uluran tangan
dan hati kita. Alam juga mengajak kita untuk memberikan cinta kepada celuruh
ciptaan-Nya, yang terdekat di lingkungan kita. Selain itu Hujan abu menjadi
berkat bagi tanaman di taman biara, tanah menjadi subur.
Karena dengan mencintai alam sekitar kita itulah bukti bahwa kita mensyukuri
segala sesuatu yang Allah berikan pada kita.